Mencermatirealitas sejarah atas kiprah Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa selama 9 (sembilan) tahun di Bali. Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum.
ï»żBalinese kittens have dark noses, ears, feet and piercingly blue eyes. Their fur is as deep as it is soft. With a nature as adorable as their appearance, this is one cute kitty that is going to need a seriously special name. Today Iâll share dozens of ideas to inspire the perfect name for your pet. Contents Boys namesGirls namesCelebritiesNames from Bali Taking a cat home is one of the most special and magical things youâll ever do. Sure, weddings are nice and the birth of your first child is kind of okay, but it doesnât really compare, does itâŠ?! That feeling you get when falling in love with a feline and making the decision to welcome them into your home is pretty much unrivalled. Weâd do it every day if we could. Coming Up With Ideas Itâs fun to get really creative when you are naming a pet, as long as you still pick something youâre going to want to repeat for years to come. Iâve found shorter names work well, with no more than three syllables at most. Make sure itâs a different sound to any other members of the family, and why not try to brainstorm things that are related to a topic or hobby that has meaning to you. Weâve had a little think of some nice-sounding names for male Balinese cats and come up with a list of some of our favorites. And here they are MirageSammyThailerShadowSatraSmokeyManaBoribunPrijaSudKlahanSam Handsome Ideas When youâve got the best looking cat on the block, he needs a name to fit. What about these names to evoke a dapper looking gentleman? ManojCharlieOscarLeoMaxOllieMiloTobyJasperOswaldSimba Female Balinese Cat Names These gorgeous girlsâ names span the ages, from traditional to modern. LilyDaisyLucyLuluMillieBellaRubyLarsOpalWhimsyNovaTopazSorayaVegaAstroJoniAryisNeptuneFelicityInfinitiDustySnickers Elegant Inspiration A fully grown female Balinese truly is one of the grand dames of the cat world. Here are some striking names to suit her PreciousCinnamonBaby BlueFlowerCocoBellaLunaMollyRajahKatanaMaleeZinniaWilaSarojJasmineGoldyLotusCocoRosieLolaTillyBonnie Famous Cats Famous cats can be found in countless books, TV shows and movies. So weâve cobbled together a list of some of the most famous Balinese cats and Siamese cats since they share the same striking point colors. Koko â From The Cat Who⊠series of books by author Lilian Jackson BraunYum Yum â Another Siamese from The Cat Who⊠seriesSagwa â Taken from the childrenâs book Sagwa the Chinese Siamese CatTao â The amazing cat from the classic kidsâ film The Incredible JourneyKit â The familiarâ cat from hit witchy TV show CharmedPyewacket â From the 1958 Kim Novak movie Bell, Book and CandleShun Gon â From, obviously, The Aristocats!DC â from the movie That Darn Cat, yet another Disney film with a Siamese cat in itSkippyjon/Skippy â The Siamese cat hero of the Skippyjon Jones booksSi â One of the cats in Lady and the TrampAm â The other Lady and the Tramp Siamese cats You could always substitute Siâ and Amâ for Baâ and Liâ if you took on two Balinese kittens! Balinese Names A cat as regal and sophisticated as the Balinese deserves something a little special. Balinese cats take their name from Balinese dancers. The story goes that one of the first breeders of Long-Haired Siameseâ cats the forerunners of the Balinese breed thought the name too long and unwieldy. She thought her cats moved with the grace of Balinese dancersâ, and so a new name stuck. And what better way to acknowledge your new friendâs namesakes, than with a name from Indonesia? Here are some common â and not so common â names for people in Bali. If languages arenât your thing, and your worried about pronunciation, one of these short names could be right for you PutuGedeMadeDewaTutMayaKadeAriBaliAmanAryaImanAdiRiaKaliArtiCobinSitraKetutGustiDarmaKetutSudra If youâre after something a little more substantial, then why not consider one of these instead WayanKadekNengahNyomanKomangBalikAgungTjokordNyomanWesyaKsatriaBrahmanaPedjengSulastriSusilaTjokaGunturSantosoKiranaMarshanda The Best Balinese Cat Names Picking out the perfect name for your cat â Balinese or otherwise â is a very personal thing. Hopefully some of the names here have jumped out at you. If you think one could fit your cat, try it on for size. Roll it around your tongue a while, and try calling your cat the name a few times out loud. And let us know when youâve found the right Balinese cat name for your pet! Where did you look for inspiration? What names did you choose? Let us know in the comments section below!Jawaban(1 dari 3): Ini sebenarnya bisa dilihat di Google Map, tapi saya akan jawab dengan Pura yang pernah saya kunjungi, sebagian besar berada di Jawa. Jawa Timur Pura Agung Blambangan, Banyuwangi Pura Kawitan Alas Purwo, Banyuwangi Pura Giri Salaka Alas Purwo, Banyuwangi Pura Mandara GiriOm Swastiastu, Banyak orang bingung mencari Kawitan karena pada zaman Bali Kuna belum ada pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Stelah kalahnya Bali pemerintahan dipegang oleh Dalem Baturenggong dengan dibantu Danghyang Nirarta yg diberi gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada pemujaan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yg sudah ada di Bali sebelum masuknya Dh Nirarta menjadi bingung untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum masuknya Dh Nirarrta. Pertanyaannya, dimanakah kawitan dan padharmanya para raja dan para ksatria Bali Kuna itu? Sehingga banyak masyarakat Bali Mula contoh Kubayan, Dukuh, Karang Buncing, Tangkas, Bandesa, dimasukkan ke soroh Pasek, padahal Kubayan itu adalah jabatan rohaniawan desa Bali Kuna sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dukuh adalah turunan raja2 Bali Kuno yg diberi gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yg diberi julukan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak sekali kontroversi mengenai sejarah Bali ini yang perlu diluruskan. Catur Lawa Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan itu bukan soroh atau kelompok warga. Catur Lawa itu adalah 4 kelompok tugas yang membantu kelancaran jalannya upacara yang ada di Pr Penataran Besakih. Dukuh yang mempunyai tugas bagian simbol suci Tuhan atau yang âmuputâ upakara, Penyarikan mempunyai tugas bagian administrasi, Pande dan Pasek mempunyai tugas membuat sarana dan prasarana lainnya misalnya, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan kerangka lainnya. Jadi dimanakah Kawitan dan Pedharmar masyarakat Bali Mula itu ?? Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan Stana Leluhur Yang Disucikan, Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu berselisih dengan pusat/Majapahit dan Beda Muka raja berkepala babi oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi. Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan 2006184, serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf âaâ awal diganti dengan huruf âeâ, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca Riana, 2009100,377. Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963. Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu. Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar istana baru yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu. Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham Bedahulu dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati mahapatih kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi. Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya. Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala perangkap oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung âŠ. Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Yang menjadi pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder 1995786, kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih senapati di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan Gusti Ularan, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru. Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek Kyayi Agung Pasek Gelgel dengan Catur Lawa yaitu 4 empat kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi bakat dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh klen, kasta. Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya. Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen kelompok warga. Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain. Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008. Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh pendeta yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka. Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit. Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih bulan dan yang satu lagi mengikuti wuku minggu. Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga bulan ke 9 dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa bulan ke 10. Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe. Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya; dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya. Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya. Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra kelompok warga itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain? Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan stana suci para leluhur. Dalam Kamus Bali-Indonesia Tim 801 menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula warga, wangsa, treh, gotra. Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu? Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan âSeorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewaâ. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan lewatâ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan mengantarkanâ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita. Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya ibu yaitu melalui tali pusar ari-ari. Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari mungkinâ ari-ari tali pusar ini disimbolkan menjadi selempot senteng, karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng selempot yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri. âŠ. kira2 demikian sejarah munculnya konsep pemujaan KAWITAN di jagat Bali ini ⊠NamaKeturunan Purusa Bali (Soroh/Garis Keturunan Hindu)-SOROH BALI SILSILAH NAMA KETURUNAN PURUSA VERSI BALI. (diatas kawitan) maka kita tidak lagi disebut bapak, karena sudah menyatu dengan Tuhan (manifestasi Prajepati), yang artinya dijaman itu kita sudah diupacarai, sudah pasti dianggap kawitan luluhur atau Tuhan. Woh jadi tau deh Kata Kawitan ini berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal-usul manusia adalah Leluhur. Jadi, sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Dan Kawitan merupakan pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali. Dasar pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Yaitu, roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Ada juga yang mengartikan pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya. Di luar Pulau Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Nah, konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di Pulau Jawa kawitan tidak sedetail seperti di Bali, yang ada adalah dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatanya tidak sekuat konsep kawitan di Bali. Mengenai konsep adanya banyak kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Contoh, misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Dan begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana kawitan tersebut. Sebab, hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri. Pura Kawitan merupakan tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan âwitâ atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Maka dari itu Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Berbagai contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya. Pasti semeton pernah mungkin sering merasa tidak tenang, tentram atau sakit-sakitan. Nah, itu mungkin bisa jadi kemungkinan karena melupakan kawitan / leluhur. Bukan berarti leluhur menyakiti / membuat tidak merasa nyaman, akan tetapi agar kita tidak melupakan para leluhur dan selalu berbhakti kepada leluhur. Sebab itu merupakan salah satu penerapan dari pelaksaan Panca Srada. Dalam pengertian Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu. Percaya dengan adanya Brahman percaya akan adanya Sang Hyang Widhi Percaya dengan adanya atman percaya akan adanya Sang Hyang Atman Percaya dengan adanya karmaphala percaya akan adanya hukum karma phala Percaya dengan adanya punarbhawa percaya akan adanya kelahiran kembali Percaya dengan adanya moksa kepercayaan akan terjadinya persatuan Atman dengan Brahman bila Atman sudah suci Jika ada semeton yang masih dalam Pencarian Keyakinan Diri atau Pencarian Apakah Kawitannya, hendaknya sering-seringlah sembahyang dan Meditasi. Dan memohon petunjuk kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keteguhan hati yang kuat serta kesabaran. Berharap sepenuh hati, dan niscaya akan diberikan jalan yang benar menuju ke Kawitan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk semeton. Seandainya ada makna dan sejarah yang kurang lengkap atau kurang tepat. Silakan dikoreksi. Matur suksmaâŠ. Menguraiasal kata Kawitan yang berasal dari kata wit" yang berarti asal, pada penulisan ini ada sebuah kata yang sering kita dengar diantara masyarakat kita yaitu SALAH KAWITAN. Yang di maksud dengan salah kawitan disini yaitu sekelompok individu atau individu yang berasal dari golongan/soroh keluarga tertentu yang mulanya mengakui dirinya golongan/soroh tertentu lalu pindah/berubah
BEBERAPA KELOMPOK MASYARAKAT YANG MENDIAMI PULAU BALI BERDASARKAN KURUN WAKTU KEDATANGANNYA I. Masyarakat Bali Mula Masyarakat Turunan yang akhirnya menjadi Tarunyan yang sekarang dikenal dengan masyarakat Terunyan dan sekitarnya. II. Masyarakat Bali Aga Mayarakat pengikut Maha Rsi Markandeya yang berasal dari Desa Aga di lereng Gunung Raung Jawa Timur yang di Bali memperkenalkan sistim sawah tadah hujan yang disebut padi gaga masyarakanya kemudian dikenal dengan Masyarakat Bali Aga. III. Masyarakat Bali Kuna Adalah masyarakat keturunan Sri Ksari Warmadewa beserta pengikut-pengikutnya. IV. Masyarakat Warga Pasek seperti Maha Gotra Pasek Sanak Pitu yang menurunkan Warga Pasek, Bandesa dan Dukuh 1. Maha Gotra Pasek Kayu Selem menurukan Warga Pasek Bali 2. Maha Gotra Pande Mpu Gandring Sakti menurunkan Warga Pande V. Masyarakat Majapahit dari Pulau Jawa 1. Ksatrya Sidemen menurunkan Warga Arya Bang Sidemen 2. Ksatrya Dhalem 3. Arya Damar 4. Arya Kutawaringin VI. Masyarakat yang merupakan keturunan Dang Hyang Nirartha 1. Brahmana ZAMAN SETELAH MAJAPAHIT MENGUASAI BALI Putera keempat dari Danghyang Soma Kepakisan atau Mpu Soma Kepakisan di Jawa yang dijuluki Dalem Ketut bergelar abhiseka Ratu Sri Kresna Kepakisan, karena pusat pemerintahan di Samprangan beliau juga dikenal dengan Dalem Samprangan memerintah Bali sebagai Adipati Majapahit tahun 1350-1380 Masehi. PANUGRAHAN âSRI KRESNA KEPAKISANâ KEPADA 1. KI PASEK GELGEL Sabda Dalem âWahai saudara Pasek Gelgel anugerahku berlaku untuk sterusnya bagi keturunanmu, keturunan saudara bebas dari kewajiban tetegenan, bebas aturan pejah manjing, bebas dari hukuman mati. Bila saudara atau keturunan saudara melakukan kesalahan atau melanggar Undang-Undang sekali, dua kali, tiga kali harus diampuni, bila harus dihukum mati diganti dengan hukuman diusir, demikian anugerahku. Pada kesempatan tersebut juga dianugerahkan â Dalam pelaksanakan upacara Pitra Yadnya atiwa-tiwa seketurunanmu boleh memakai wadah metumpang bade, tidak dibenarkan memakai tumpang, saya mengambil tumpangnya. Selain tumpang boleh dipakai, seperti Bhoma bersayap dimuka dan dibelakang, kapas sembilan warna, meuncal, mekekitir, mepetulangan Singha, tempat pembakaran mayat bertumpang tiga, mebale lunjuk. Hal ini berlaku apabila pelaksanaan atiwa-tiwa di lingkungan istana, bila di luar istana sesuaikan dengan amanat dari Mpu Ketekâ. 2. KI PATIH ULUNG Sri Kresna Kepakisan bersabda kepada putera Mpu Dwidjaksara yang bernama Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung âberhubung leluhur Ki Patih Ulung dahulu di tugaskan ke Bali dari Majapahit guna mengatur dan memimpin rakyat Bali pada setiap tempat, namun hingga kini gagal dengan alasan belum adanya Adipati. Akhirnya Majapahit menobatkan saya Sri Kresna Kepakisan sebagai Adipati Majapahit di Bali, oleh karena itu bukannya saya menurunkan derajat saudara namun saudara sendirilah yang menurunkan derajat diri saudara, dahulu saudara adalah Brahmana Wangsa kini menjadi Vaisya Wangsaâ. Sejak saat ini pula keturunan Sang Sapta Rsi yang tadinya bergelar Pangeran, I Gusti, Kyayi dan sebagainya tidak boleh lagi menggunakan gelar tersebut dan yang dibolehkan adalah Ki Pasek dan Ki Bandesaâ. Latar belakang keluarnya sabda Dalem tersebut adalah karena tahun 1267 Mpu Dwijaksara leluhur dari Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung diutus ke Bali oleh Gajah Mada dari Majapahit dengan tujuan untuk mengatur rakyat Bali guna membangun kembali Kahyangan-kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga. Namun kenyataannya baru berhasil merenovasi bekas Parhyangan Mpu Ghana di Gelgel sebatas bebaturan saja sehingga Pura tersebut disebut Pura Batur Penganggih. Yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan keturunan Warga Pasek Sapta Rsi. Selain merenovasi bekas Parhyangan sekte Ghanapati, Mpu Dwijaksara juga merenovasi sebuah taman yang disebut Taman Bagendra di Gelgel. PURA DASAR BHWANA GELGEL SEBAGAI PEMUJAAN TRI WARGA Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Smara Kepakisan dan karena pusat pemerintahan di Gelgel beliau juga dikenal dengan Dalem Gelgel yang pertama. Dalam masa pemerintahan Sri Smara Kepakisan 1380-1460 masehi beliau membangun tempat pemujaan Tri Warga di Pura Batur Penganggih yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem dan Warga Pande. Dan status Pura Batur Penganggih ditingkatkan menjadi Pura Kahyangan Jagat yang dinamakan Pura Dasar Bwana Gelgel. SRI SMARA KEPAKISAN DALAM RANGKA MENARIK SIMPATI RAKYAT BALI Guna menarik simpati rakyat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna, Sri Smara Kepakisan Putra keempat Sri Kresna Kepakisan menyatakan/menetapkan 1. Pura Dasar Bhwana Gelgel sebagai Pura Pusat Kerajaan seperti Pura Pusering Jagat di zaman Kerajaan Bedulu. 2. Pura Besakih sebagai Pura Kerajaan untuk Seluruh Bali. 3. Mengangkat tokoh-tokoh masyarakan Bali sebelum Majapahit seperti Ki Pasek Gelgel, Lurah Kapandean dari golongan Pande sebagai pejabat Kerajaan. Keturunan Ki Ularan sebagai Tumenggung atau Panglima Perang. 4. Kesenian Jawa Hindu sangat berkembang dan mendesak kesenian Bali sebelumnya. 5. Dalam tata cara pemujaan muncul Parhyangan-Parhyangan atau Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan berdasarkan corak Majapahit namun mendapat pengaruh kepercayaan tentang arwah leluhur masyarakat Bali sebelumnya seperti masyarakat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna. Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan/klan guna menghormati arwah leluhur inilah akhirnya dikenal dengan nama PURA KAWITAN. 6. Pura sesungsungan arwah leluhur satu keluarga tersebut adalah merupakan Siwa Lingga, kemudian oleh Dalem diberikan panugerahan seperti Aji Purana Prasasti dan Piagem rikalaning atatiwa mepitra yadnya guna melengkapinya. 7. Untuk mencari dukungan lebih besar Sri Smara Kepakisan pada tanggal 4 Maret 1430 melaksanakan Upacara Sradha besar-besaran di bukit Penulisan guna untuk menghormati wafatnya Raja Bedulu yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten. KELENGKAPAN KAWITAN SEBAGAI SIWA LINGGA Dalam perjalanan waktu sistem pemujaan arwah leluhur yang kemudian dikenal dengan nama Pura Kawitan terus mengalami penyempurnaan. Seperti dimuat dalam âPrasasti Panamaskaraning para Arya sakyeng Jawi ikang tumedun maring Bali angiring Sira Dalem Chiliâ drwen Puri Smarapura Smarawijaya Klungkung. Persyaratan suatu wangsa ditandai dengan adanya Tri Sinunggal. Jajaran Pelinggih-Pelinggih Pura Kawitan merupakan Siwa Lingga, Siwa Lingga bermakna tempat melinggastanakan Ida Betahara Siwa, Ida Bethara Siwa dalam hal keleluhuran adalah Sang Hyang Siwa Guru Kemulan dan pengembangannya, Siwa Guru bermakna Guru Rupaka. Yang wajib kesungsung sembah di Pura Kawitan adalah Tri Sinunggal yaitu Aji Purana Prasasti, dimana untuk dapat dikatakan cerdas/lengkap pascat bila dilengkapi Aksara Kepatian bila digunakan oleh keturunannya bernama Surat Kajang serta ada Piagem ketika melaksanakan Pitra Yadnya rikalning atatiwa. Karena Kawitan merupakan asal mula dari suatu Wangsa Apan Kawitan ngaran Wangsa. SISTIM CATUR WANGSA KONSEP DANGHYANG NIRARTHA Tahun isaka 1411/1489M Danghyang Nirartha tiba di Bali ketika pemerintahan Dalem Waturenggong yang berpusat di Gelgel. Dalem Waturenggong memerintah Bali dari tahun isaka 1382/1460M â tahun isaka 1472/1550M, beliau adalah Dalem Gelgel yang ke dua. Danghyang Nirartha yang di lingkungan masyarakyat Bali dikenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rawuh, namun dikalangan pemerintahan dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Semenjak zaman Danghyang Nirartha sebagai Baghawanta Dhalem Gelgel diberlakukanlah Sistim Catur Wangsa yang pada hakekatnya berdasarkan keturunan atau kelahiran semata-mata. Sistim Catur Wangsa ini semakin lama semakin diperkuat dengan peraturan Pemerintah/Undang-Undang yang dibuat oleh Penguasa demi langgengnya kedudukan/kekuasaan mereka. Danghyang Nirartha ke Bali bersama 7 tujuh putera-puteranya dari 3tiga kali pernikahan, putera-putera Danghyang Nirartha dengan isteri asal Kediri disebut Kamenuh, dari isteri asal Kaniten Pasuruan disebut Manuaba, dari isteri asal Belambangan disebut Kaniten. Di Bali Danghyang Nirartha menikah lagi 2dua kali, dengan adiknya Pangeran Bandesa Mas puteranya disebut Mas dan dengan pembantunya panjroan Bandesa Mas disebut Handapan yang kemudian lebih dikenal dengan Antapan. Putera-putera Danghyang Nirartha inilah diberi gelar Brahmana, kemudian keluarga yang memerintah keluarga Raja disebut Ksatrya dan yang ketiga disebut Weisya. Ketiga golongan tersebut akhirnya mengkultuskan diri yang disebut TRI WANGSA. Kemudian berkembang ada istilah Jro dan Jaba, mereka yang tidak mempunyai jabatan dalam Pemerintahan atau orang-orang di luar Bali Rajya di luar Puri disebut ANAK JABA. Jadi ANAK JABA disini tidak sama dengan SUDRA dalam Sistim Warna di India, oleh karena itu janganlah menyebut diri anak sudra. Dengan demikian maka dari sinilah munculnya istilah CATUR WANGSA yaitu 1. Wangsa Brahmana 2. Wangsa Ksatrya 3. Wangsa Wesya 4. Di luar Tri Wangsa disebut Anak Jaba atau Wangsa Jaba yang bermakna Wangsa di luar yang terlibat dalam pemerintahan. Jadi antara Tri Wangsa dan Jaba hanyalah pembedaan dalam fungsi dan tugas kewajiban kepada negara atau kerajaan. PANUGRAHAN DALEM WATURENGGONG KEPADA KETURUNAN KI PASEK GELGEL Setelah Dalem Waturenggong berhasil menumpas pemberontakan Kyayi Batan Jeruk sekitar tahun isaka 1478/1556M berkat jasa-jasanya Dalem Waturenggong memanggil keturunan Ki Pasek Gelgel seperti Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, Ki Gaduh, Ki Ngukuhin, Ki Kubayan, Ki Salahin. Termasuk juga keluarga Pasek Gelgel yang lainnya yang tersebar di seluruh Bali, agar segera menghadap Dalem. Dengan disaksikan oleh para Arya. Berkat panugrahan tersebut maka 1. Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, keturunannya kemudian dikenal dengan Wangsa Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung. 2. Ki Gaduh, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Gaduh. 3. Ki Ngukuhin, keturunannya keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Ngukuhin. 4. Ki Kubayan, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Pasek Kubayan. 5. Ki Salahin, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Salahin Demikian semua keluarga Ki Pasek Gelgel diberikan gelar kepahlawanan yang disebut dengan Kewangsaan atau Wangsa. Sabda Dalem kepada keluarga Pasek âHai Pasek sekalian, sampaikan kepada keluarga Pasek semua bahwa saudara-saudara ini sangat cinta dan bakti kepadaku, seperti halnya leluhurmu yang menyebabkan saya dan para leluhurku tetap menjadi Dalem di Baliâ. Dengan ini saya memberikan panugreahan Amanat âBahwa saudara-saudara tidak boleh dijatuhi hukuman mati, harta benda saudara tidak boleh dirampas oleh Dalem, tidak boleh dipermainkan. Jika berbuat kesalahan yang semestinya dihukum mati diganti dengan hukuman pembuangan selama satu bulan dan seterusnyaâ. Dalam hal atiwa-tiwa Pitra Yadnya mayat harus dibungkus daun pisang kaikik, bagi yang sudah menjadi Pandita usungan mayat diperbolehkan menggunakan Padma, petulangannya lembu putih. Yang masih welaka boleh mebade tumpang pitu petulangannya lembu cemeng dan seterusnya. IDENTITAS TERKAIT WANGSA CELUK SESUAI AJI PURANA PRASASTI Sebagai Ăiwa Lingga bagi Wangsa Celuk yang jajaran Pelinggih-Pelinggihnya sesuai dengan yang tersurat dalam 5 Cakep Lontar Babad Celuk dipugar, direnovasi dan dilengkapi menjadi ekadasa lingga oleh I Gusti Mangku Rat keturunan I Gusti Celuk generasi kesepuluh/undag kaping 10. Lokasinya di sebelah utara Pura Purusada Loring Pura Purusada di tempat mana roh suci Ida Bethara Kawitan dilinggastanakan pada zaman Ki Gusti Tangkeban generasi ketiga/undag kaping 3. Aji Purana Prasasti bagi Wangsa Celuk di muka bhumi ring jana loka merupakan panugerahan dari Dhalem Pemayun Raden Pangarsa yang juga dikenal dengan Dhalem Bekung beliau adalah putera dari Dhalem Waturenggong. Kajang Kawitan atau Kajang Kulit adalah bagian yang tak terpisahkan dari Aji Purana Prasasti. Bagi Wangsa Celuk Kajang Kawitan yang dimiliki merupakan penugerahan dari Hyang Prama Kawi kepada Ki Gusti Putu Rasa di pantai Tulamben Tianyar. Beginilah sebagai tanda keutamaan yang disebut dengan Ăiwa Lingga wujudnya/ditulis dalam aksara kepatian. Bhisama Ki Gusti Putu Rasa kepada keturunan Wangsa Celuk Trah Arya Kepakisan, janganlah membicarakan penugerahan ini jika bukan pada tempatnya hingga kelak dikemudian hari. Ki Gusti Putu Rasa adalah keturunan I Gusti Celuk Ida Bethara Kawitan generasi ke sepuluh/undag kaping 10. Surat Kajang Kawitan terdiri dari lima lembar yaitu Ulon, Aksara Kepatian, Recadana, Krebsari Rurug dan Kalasa. Piagem yang merupakan panugerahan Dhalem Pemayun kepada Wangsa Celuk ketika pratisantana Wangsa Celuk melaksanakan acara Atatiwa/Atiwa-tiwa/Pitra Yadnya. Isi panugerahan dalam Piagem secara singkat demikian âRikalaning atatiwa turunaira Ki Gusti Celuk trah Arya Kepakisan wenang mebade tumpang pitu, mepetulangan Singha atawa Gajahmina, medamar kurung, metumpang saluâŠ..â dan seterusnya. KESIMPULAN Kawitan Wangsa atau Kawitan suatu wangsa/soroh/klan adalah suatu gelar panugerahan Dhalem atau Raja yang diberikan kepada seseorang dari suatu keluarga atau keturunannya berkat jasa-jasa yang dilakukan oleh leluhurnya terhadap penguasa pada zaman kerajaan Bali. Yang distanakan di Pura Kawitan adalah Ida Bethara Kawitan yang merupakan Kawitan/asal mula dari Wangsa tersebut. Sementara yang distanakan di Pura Pedharman atau Pelinggih Pedharman adalah Leluhur tertentu termasuk Ida Betahara Kawitan yang mempunyai jasa luar biasa menurut penilaian pemberi penugrahan. Sumber pustaka Salinan berbagai lontar koleksi Gedong Kertya Singaraja Kliping Koran Denpost 11 Nopember 2002 halaman 8 rubrik Babag oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi Salinan Prasasti druwen Puri Smarapura Smara Wijaya Klungkung âPanamaskaraning Para Arya saking Jawi tumekeng Bali kang angiring Dhalem Chiliâ. Bali dalam Lintasan waktu Sejarah Politik Bali dari abad 10 sampai dengan pendudukan Kolonial Belanda oleh I Md Dwi Putra Sanjaya, MIB 8 April 2003. ONGâŠ_/\_